Selasa, 17 Desember 2019

Nasib Promotif dan Preventif Kini, Puskesmas Serta SDM                            Kesehatan
                    

Hasil gambar untuk foto puskesmas
Sumber
                          

Tuntutan perbaikan pada SDM kesehatan selalu diharapkan dan dinantikan, tetapi belum banyak institusi atau perusahaan yang menganggap SDM sebagai investasi. Perbaikan mutu SDM justru dianggap sebagai beban karena biaya untuk meningkatkan pengetahuan baik melalui pendidikan ataupun pelatihan tidaklah murah. Belum lagi tidak adanya alokasi dana yang cukup untuk kegiatan tersebut. 

           
             Di lain pihak masyarakat sebagai pengguna jasa menuntut tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi baik knowledge, skill maupun attitude. Intinya masyarakat ingin mendapatkan/memiliki tenaga kesehatan (nakes) yang berjiwa melayani. Istilah gaulnya “kalau jadi nakes mesti palugada (apa loe mau gue ada)”, dalam artian apa yang pasien butuhkan terkait dengan permasalahan kesehatan harus bisa dan mampu dilayani oleh nakes dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kewenangan yang dimiliki.

                 Hingga saat ini permasalahan SDM kesehatan juga belum terurai. Perencanaan yang dibuat terkesan asal-asalan tanpa data, hanya berdasarkan kebiasaan. Kalau pun ada data tetapi tidak dihitung secara cermat. Maldistribusi tenaga kesehatan terjadi dengan alasan mulai dari masalah geografis, wilayah yang tidak strategis, hingga masalah putra daerah yang disekolahkan namun tidak ingin kembali lagi ke daerah asalnya. Meskipun sudah beberapa usaha pemerintah seperti Pegawai Tidak Tetap (PTT) bidan, Penugasan Khusus dokter spesialis ke daerah terpencil dan internship dokter, namun hal tersebut tidak banyak membantu. Hal ini terasa seperti jalan buntu yang tidak berujung.

              Terlepas dari segala permasalahan klasik yang disebutkan di atas, pada tanggal 24 November 2014 pukul 13.00, Metro TV secara live menayangkan acara Wide Shot dengan segmen acara bertemakan "Anugerah Jurnalisme Warga 2014". Salah satu karya yang menarik perhatian saya adalah video karya dari Robby, asal Semarang dengan judul Sehat Aspal Ala Puskesmas”. Saya bertanya-tanya dalam hati, “waduh apa ya maksudnya?” Tragisnya lagi, video ini menjadi pemenang I kategori news feature. Oh, yang terpikir dibenak saya adalah bahwa puskesmas tersebut akan menjadi “tenar” karena tayangan tadi akan disiarkan kembali pada bulan Desember, kemudian tersebar di media elektronik seperti YouTube.

Inti cerita dari video tersebut adalah mengisahkan tentang petugas kesehatan di puskesmas yang memberikan surat keterangan sehat, tanpa melakukan pemeriksaan. Bagaimana mungkin nakes dalam hal ini dokter melakukan hal yang tidak terpuji dan mengabaikan melakukan promotif dan preventif yang menjadi tugas utama puskesmas. Saya pun akhirnya iseng bertanya ke beberapa teman yang kebetulan bekerja di puskesmas sebagai tenaga kesehatan. Sebagian ada yang mengamini, namun ada juga yang menolak. Jadi ternyata praktik seperti cerita pada video itu memang ada dan dilakukan oleh nakes di puskesmas, walaupun tidak bisa disamaratakan bahwa setiap puskesmas melakukan praktik yang tidak benar. Sempat juga saya berbincang dengan orang lain yang kebetulan menyaksikan acara tersebut. Jawabannya begini, “Ya, mbak..mbak, Mosok 3.000 njaluk selamet (dengan uang Rp. 3000,00 masak minta selamat). Piipis aja bayar Rp.2000,00,” . Saya sebagai tenaga kesehatan bingung, harus merasa senang atau sedih kalau begini. Di satu sisi ada benarnya juga dengan uang tiga ribu kok minta dilayani, tetapi permasalahannya adalah bukan nilai uangnya toh itu hanya membayar retribusi sementara tenaga kesehatan mempunyai tanggung jawab moral sebagai abdi masyarakat yang siap melayani karena sudah mendapatkan gaji. Idealnya ya seperti itu tapi selama profesionalisme tidak dihargai hal-hal seperti ini kayaknya akan selalu terulang. Yang disayangkan hal ini terjadi di Puskesmas. Padahal keberadaan puskesmas di suatu wilayah dimanfaatkan sebagai upaya-upaya pembaharuan (inovasi) yang diumpamakan sebagai “agen perubahan” di masyarakat sehingga masyarakat lebih berdaya dan timbul gerakan-gerakan upaya kesehatan yang bersumber masyarakat.

Tentunya praktik diatas tidak sejalan dengan Keputusan Menteri Kesehatan nomor 128/MENKES/SK/II/2004 tentang dasar Kebijakan Pusat Kesehatan Masyarakat, yang mana puskesmas mempunyai 3 fungsi yaitu 1) pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, 2) pusat pemberdayaan keluarga dan masyarakat dan 3) pusat kesehatan strata pertama. Selain itu juga, Puskesmas sendiri mengandung arti sebagai fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Dalam pelaksanaannya puskesmas memang masih menghadapi berbagai masalah, antara lain kegiatan yang dilaksanakan puskesmas kurang berorientasi pada masalah dan kebutuhan masyarakat setempat tetapi lebih berorientasi pada pelayanan kuratif bagi pasien yang datang ke puskesmas. Keterlibatan masyarakat yang merupakan andalan penyelenggaraan pelayanan kesehatan tingkat pertama juga belum dikembangkan secara optimal, sehingga sampai saat ini puskesmas kurang berhasil menumbuhkan inisiatif masyarakat dalam pemecahan masalah dan rasa memiliki puskesmas serta belum mampu mendorong kontribusi sumberdaya dari masyarakat dalam penyelenggaraan upaya kesehatan. Mari kita renungkan dengan melihat bagaimana puskesmas bekerja, loket puskesmas dibuka jam 08.00, pelayanan bisa jam 09.00 atau 09.30 alasannya bisa dokter masih rapat, lum hadir atau yang lain, pada saat pelayanan pasien dipanggil masuk ruangan bisa berlima meskipun nanti diperiksa satu persatu. Pelayanan selesai jam 14.00 sisa waktu nya buat apa?, pernah ada nakes yang menyatakan tidak efektif pulang jam 16.00. Apakah betul demikian ataukah manajemen waktu yang kurang baik sehingga pelayanan menjadi singkat?. Sehingga tidak ada waktu untuk Promotif dan preventif.

Semestinya hal seperti ini tidak boleh terjadi sebab puskesmas juga memiliki azas penyelenggaraan puskesmas yaitu pemberdayaan masyarakat, artinya puskesmas wajib menggerakkan dan memberdayakan masyarakat agar berperan aktif dalam setiap upaya kesehatan, terutama berperilaku hidup bersih dan sehat. Berkenaan dengan pentingnya upaya promosi kesehatan dalam pelayanan kesehatan sesuai dengan kepmenkes No 1193/Menkes/SK/X/2004 maka diperlukan tenaga fungsional Penyuluh Kesehatan Masyarakat (PKM) untuk mengelola promosi kesehatan secara profesional serta menyelenggarakan pelayanan yang bersifat promotif dan preventif. Promotif dan preventif akan mudah diucapkan, pelaksanaannya?. Tentu tidak mudah untuk merubah kebiasaan yang biasanya lebih mengutamakan kuratif menjadi preventif dan promotif. Apalagi tidak mendapat dukungan dari para pengambil kebijakan, karena untuk menjalankan program, perlu SDM, uang serta programnya. Ambil contoh puskesmas di wilayah Tangerang. Dari 32 puskesmas yang ada di wilayah Tangerang, yang memiliki sumber daya manusia (SDM) berlatar belakang pendidikan Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) dan bertanggung jawab terhadap program promosi hanya 2 (dua) orang. Selebihnya yang bertanggung jawab atas progam promosi adalah dokter, perawat atau bidan, bahkan perawat gigi. Tentu saja dari segi kompetensi tenaga kesehatan ini tidak sesuai. Lain lagi dengan wilayah bekasi menurut bapak walikota pada acara di radio dakta tanggal 30 Desember 2014, sedang diurus untuk membuat puskesmas menjadi Rumah sakit tipe D alasannya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di era JKN ini. Betul-betul gawat siapa ini yang akan bertanggungjawab memberikan pencerahan?. Menurut Prof. Gani di era JKN ini puskesmas di Kabupaten Bondowoso Jawa Timur berlomba-lomba menjadi BLU puskesmas perawatan, dengan alasan agar bisa klaim BPJS karena melakukan tindakan. Aanehnya hal ini disetujui oleh DPRD-nya.

Bukankah puskesmas sudah dibayar dengan kapitasi? Apakah masih kurang? Siapa sebenarnya pencetus ide ini? Bagaimana dengan tugas pokok yang semestinya dilakukan?. Apakah ini berarti promotif dan preventif akan tinggal cerita?. Apalagi selama ini pendanaan untuk promosi kesehatan juga sangat minim hanya berasal dari Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) Selain itu para pemerhati kesehatan berharap dari cukai rokok dapat dikembalikan untuk pembiayaan kesehatan. Namun perlu meyakinkan dengan melakukan advocacy kepada kepala daerah pun perlu waktu. Kalau seperti ini cerita promotif dan preventif bisa tinggal kenangan. Menurut hemat saya tidak adanya tenaga yang berkompeten untuk melakukan promosi kesehatan, maka pemerintah atau pihak terkait perlu menambahkan tenaga promosi kesehatan (penyuluh kesehatan masyarakat) bukan perawat/ bidan atau tenaga lain yang diberdayakan menjadi tenaga promkes. Bagaimana dengan adanya moratorium yang akan berlangsung selama 5 tahun,,, mungkin tidak untuk semua tenaga kesehatan barangkali. Pendanaan yang minim juga perlu dipikirkan, bagi dinas kesehatan yang membawahi puskesmas semestinya mengembalikan puskesmas ke 3 fungsinya sehingga tidak terjebak dengan pelayanan kuratif . Ayo giatkan kembali pelayanan promotif dan preventif karena kalau pelayanan kuratif tidak akan ada habisnya dan dana berapapun akan bisa habis untuk kuratif dan ingat juga biaya terbesar terserap oleh pembiayaan obat...maka pemberantasan mafia obat juga harus. Ayok wujudkan puskesmas yang mengedepankan promotif dan preventif, dengan nakes yang profesional dan pendanaan yang memadai .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar